Psikoedukasi
1.
Asesmen
A. Identitas
1. Nama : RW
2. Jenis
kelamin : P
3. Pendidikan : S1
4. Alamat : Menco
5. Urutan
anak : 2 dari 2 bersaudara
6. Usia : 22 tahun
7. Status : belum menikah
B. Gambaran
Kasus :
Subjek merupakan perempuan berusia 22
tahun, subjek merasa takut terhadap ketinggian mulai SMP kelas 2. Jika berada
di tempat yang tinggi subjek merasa takut, jantung berdebar-debar, berkeringat,
dan berasa ingin jatuh dan menjatuhkan diri. Kejadian pertama kali yang membuat
subjek takut ketinggian yaitu ketika subjek SD, subjek melihat kakaknya naik pohon kemudian terjatuh hingga
tangannya patah dan tergores batu hingga mengeluarkan darah. Saat itu subjek
berada diatas pohon sehingga subjek melihat peristiwa tersebut dengan jelas,
yang dirasakan subjek saat kejadian itu subjek langsung merasa pusing, seperti
merasakan akan jatuh juga. Saat kejadian itu subjek tidak berani manjat pohon
lagi dan takut pada tempat-tempat yang tinggi. Cara subjek dalam mengatasi
ketakutan pada ketinggian yaitu dengan cara menghindar, jika turun tangga yang
curam dengan duduk dan menuruninya satu per satu anak tangga, mengalihkan
pikiran negatif, dan berpegangan pada teman jika subjek turun tangga dengan
teman.
C. Asesmen
Anticedent
|
Behavior
|
Konsekuensi jangka
pendek
|
Konsekuensi jangka
panjang
|
Kakak jatuh dari
pohon
|
P= berpegangan lebih
erat pada pohon, menangis di pohon
E= kaget, takut
K= Tangan kakak tidak
bisa digerakkan, tidak bisa digunakan
F= deg-degan,
|
Orang lain:
(+) menenangkan
Diri sendiri :
(+) Lega
|
Orang lain :
(+) Memegangi saat
turun tangga
Diri sendiri :
(+) Lega
|
Subjek melewati
tempat tinggi di lantai 2 sehingga lantai 1 terlihat dari lantai 2
|
P= menjauh dari
tempat tinnggi (Lebih memilih di samping tembok)
E= takut, was-was
K= rasanya ingin
jatuh, dan menjatuhkan diri
F= deg-degan,
berkeringat
|
Orang lain :
(+) menenangkan
(-) menertawakan
(-) berkomentar negatif
Diri sendiri :
(+) Lega
|
Orang lain :
(+) Memegangi saat
turun tangga
(+) menghindari
tempat tinggi
Diri sendiri :
(+) Lega
|
Subjek menuruni anak
tangga
|
P= menuruni dengan
berjongkok
E= takut, was-was
K= rasanya ingin
jatuh, dan menjatuhkan diri
F= deg-degan,
berkeringat
|
Orang lain :
(+) menenangkan
(-) Menertawakan
Diri sendiri :
(+) Lega
|
(+) Memegangi saat
turun tangga
(+) menghindari
tempat tinggi
Diri sendiri :
(+) Lega
|
1. Phobia
ketinggian (acrophobia)
Berdasarkan
hasil asesmen yang telah dilakukan Subjek memiliki ketakutan terhadap tempat
tinggi. Menurut subjek fobia ketinggian atau acrophobia yaitu ketakutan yang
terjadi pada individu terhadap tempat yang tinggi.
2. Penyebab
phobia
Subjek mulai takut ketinggian saat
melihat kakaknya terjatuh dari pohon hingga tangannya patah, luka dan berdarah.
Pada saat itu subjek juga berada di atas pohon sehingga subjek melihat kejadian
tersebut dengan jaelas. Selain itu juga ada kejadian lain disaat subjek
berjalan di lantai 2, dari lantai 2 tersebut dapat terlihat lantai 1 sehingga
subjek lebih memilih berjalan di pinggir menempel menyusuri dinding. Kemudian
terdapat kejadian lainnya disaat subjek pergi ke suatu tempat wisata subjek
menaiki tangga tapi pada saat turun subjek menuruninya dengan merangkak.
3. Perkembangan
perilaku phobia
Pada walnya subjek sudah takut dengan ketinggian
tapi saat remaja karna subjek sering menonton film dengan seting-seting tinggi
seperti sepiderman dengan setting gedung dan banyak adegan loncat dari gedung
ke gedung lain. Sejak itu ketakutan subjek semakin bertambah.
4. Dampak
phobia ketinggian
Subjek menjauhi tempat-tempat tinggi
seperti balkon akan tetapi subjek mampu melewati tangga karena aktivitas yang
mengharuskan subjek melewati tangga walaupun subjek melewati dengan mengalihkan
pandangannya. Kemudian jika di hadapkan pada tempat tinggi subjek langsung
duduk tidak mau berdiri kemudian berkeringat dan deg-degan.
5. Prognosis/kemungkinan
sembuh
Subjek memiliki keinginan untuk tidak
takut lagi dengan tempat-tempat tinggi akan tetapi subjek tidak mau jika
langsung dihadapkan langsung pada tempat yang tinggi.
6. Tritmen/terapi
yang harus di jalani
Terapi yang harus dijalani yaitu dengan
Behavior Therapi. Behavior Therapy
Suatu terapi yang memfokuskan untuk mengubah perilaku. Terapi perilaku berusaha menghilangkan masalah perilaku khusus secepatnya dengan mengawasi perilaku belajar klien. Behavior Therapy, uuatu terapi yang memfokuskan untuk mengubah perilaku. Terapi perilaku berusaha menghilangkan masalah perilaku khusus secepatnya dengan mengawasi perilaku belajar klien.
Suatu terapi yang memfokuskan untuk mengubah perilaku. Terapi perilaku berusaha menghilangkan masalah perilaku khusus secepatnya dengan mengawasi perilaku belajar klien. Behavior Therapy, uuatu terapi yang memfokuskan untuk mengubah perilaku. Terapi perilaku berusaha menghilangkan masalah perilaku khusus secepatnya dengan mengawasi perilaku belajar klien.
a. Bentuk-bentuk
Behavior Therapy
1) Sistematis
Desensitisasi
2) Exposure
and Response Prevention (ERP)
3) Modifikasi perilaku
4) Flooding
b. Teknik
Behavior Therapy
-
Mencari stimulus yang memicu
gejala-gejala
-
Menaksir/analisa kaitan kaitan bagaimana
gejala gejala menyebabkan perubahan tingkah laku klien dari keadaan normal
sebelumnya.
-
Meminta klien membayangkan sejelas
jelasnya dan menjabarkannya tanpa disertai celaan atau judgement oleh terapis.
-
Bergerak mendekati pada ketakutakan yang
paling ditakuti yang dialami klien dan meminta kepadanya untuk membayangkan apa
yang paling ingin dihindarinya, dan
-
Ulangi lagi prosedur di atas sampai kecemasan
tidak lagi muncul dalam diri klien.
c. Kelebihan
-
Dengan memfokuskan pada perilaku khusus
bahwa klien dapat berubah, konselor dapat membantu klien kea rah pengertian
yang lebih baik terhadap apa yang harus dilakukan sebagai bagian dari proses
konseling.
-
Dengan menitikberatkan pada tingkah laku
khusus, memudahkan dalam menentukan criteria keberhasilan proses konseling
-
Memberikan peluang pada konselor untuk
dapat menggunakan berbagai teknik khusus guna menghasilkan perubahan perilaku.
d. Kekurangan
-
Kurangnya kesempatan bagi klien untuk
terlibat kreatif dengan keseluruhan penemuan diri atau aktualisasi diri
-
Kemungkinan terjadi bahwa klien mengalami
“depersonalized” dalam interaksinya dengan konselor.
-
Keseluruhan proses mungkin tidak dapat
digunakan bagi klien yang memiliki permasalahan yang tidak dapat dikaitkan
dengan tingkah laku yang jelas.
-
Bagi klien yang berpotensi cukup tinggi
dan sedang mencari arti dan tujuan hidup mereka, tidak dapat berharap banyak
dari konseling behavioral.
7. Upaya
yang bisa dilakukan untuk kesembuhan
Belum ada upaya yang diakukan oleh
subjek untuk mengurangi ketakutan dalam menghadapi ketinggian sehingga dalam
hal ini keluarga dan teman-teman perlu mengupayakan atau megurangi ketakutan
tersebut yaitu dengan mengajak subjek ke tempat-tempat tinggi dan membiarkan
subjek berjalan sendiri apabila menuruni tempat tinggi seperti tangga.
8. Komunikasi
Subjek sudah mengkomunikasikan mengenai
ketakutannya pada ketinggian dengan teman-teman subjek..
9. Koping
Subjek dalam menghadapi ketakutan akan
ketinggiannya dengan cara menghindari atau menjauhi tempat-tempat tinggi. Namum
pada saat subjek diharuskan menuruni tangga subjek dapat menuruninya namun
dengan mengalihkan pandangannya dan dengan berpegangan pada tepi tangga.
10. Kemampuan
problem solving
Diluar ketakutan subjek akan ketinggian
subjek apabila menghadapi suatu masalah terkadang lebih untuk memilih
menghindarinya dan mencari kesenangan lain untuk mengalihkannya dan dalam
menyelesiakan masalah subjek membutuhkan dukungan dari orang lain.
2.
Perancangan
Program
Berdasarkan asesmen mengenai phobia
subjek, pengetahuan dan keterampilan yang subjek, teman-teman dan keluarganya
butuhkan yaitu:
1. Pengertian
phobia
Fobia adalah rasa
takut yang menetap terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak
sebanding dengan ancamannya (Nevid, 2005). Selanjutnya Davison dan Neale (2006)
mengatakan bahwa fobia yaitu perasaan takut dan menghindar terhadap objek atau
situasi yang realita atau kenyataannya tidak berbahaya.
2.
Ciri-ciri gangguan fobia
Berdasarkan DSM IV (dalam Martin & Pear, 2003), gangguan fobia
memiliki ciri-ciri:
a. Ketakutan/kecemasan
yang menghasilkan perubahan fisiologis seperti tangan berkeringat, pusing atau
jantung berdebar.
b. Melarikan
diri atau menghindari situasi dimana rasa takut sering muncul.
c. Perilaku
tersebut mengganggu kehidupan individu.
3. Fobia Spesifik
Fobia Spesifik adalah
kecemasan yang signifikan terhadap objek atau situasi yang menakutkan, dan
sering menampilkan perilaku menghindar terhadap objek atau situasi tertentu
(Miltenberger, 2004). Durand & Barlow (2005) mengatakan bahwa Fobia Spesifik adalah ketakutan yang
tidak beralasan terhadap suatu objek atau situasi tertentu. Ketakutan ini bisa
disebabkan oleh darah, luka, situasi (seperti di dalam pesawat, lift dan
ruangan yang tertutup), hewan, dan lingkungan yang natural (seperti ketinggian
dan air).
Fobia Spesifik menurut
Wenar dan Kerig (2006) adalah ketakutan yang bertahan, berlebihan dan tidak
masuk akal tehadap suatu objek atau situasi tertentu. Menurut Nevid (2005) Fobia Spesifik adalah ketakutan yang
berlebihan dan persisten terhadap objek atau siuasi spesifik. Orang yang
mengalami ketakuatan dan reaksi fisiologis yang tinggi bila bertemu dengan
objek fobia akan menimbulkan dorongan kuat untuk menghindar atau melarikan diri
dari situasi atau menghidari stimulus yang menakutkan.
Haugaard (2008) mengatakan bahwa Fobia Spesifik dikarakteristikkan
dengan kecemasan yang sering terjadi karena disebabkan oleh benda atau situasi
tertentu. Selanjutnya juga dikatakan bahwa ketakutan dan kecemasan ini tetap
ada walaupun tidak berhubungan langsung dengan objek atau situasi yang ditakuti
dan dapat mengganggu anak dalam hal akademis dan interaksi sosialnya.
4.
Kriteria diagnostik Fobia Spesifik (dalam
APA, 2000) adalah:
a. Ketakutan
yang menyolok dan menetap yang berlebihan dan tidak dapat dijelaskan,
disebabkan oleh objek atau situasi yang spesifik
b. Stimulus
fobik hampir selalu menyebabkan respon kecemasan atau serangan panik.
c. Menyadari
ketakutannya berlebihan dan tidak dapat dijelaskan.
d. Situasi fobik dihindari dengan kecemasan atau
distres yang kuat.
e. Penghindaran,
antisipasi kecemasan atau distres dalam situasi phobik bertentangan secara
signifikan dengan rutinitas orang normal, fungsi pekerjaan (pendidikan) atau
aktivitas/hubungan sosial, atau ditandai distres tentang fobia.
f. Kecemasan,
serangan panik atau menghindari fobia dihubungkan dengan objek atau situasi
spesifik, tidak berkaitan dengan gangguan mental lain, seperti Obsessive-Compulsive
Disorder, Posttraumatic Stress Disorder, Separation Anxiety
Disorder, Social Phobia, Panic Disorder With Agoraphobia,
atau Agoraphobia Without History of Panic Disorder.
5.
Penyebab Fobia Spesifik
Menurut
Durand & Barlow (2005), ada beberapa penyebab munculnya specific phobia yaitu:
a. Traumatic event
Kebanyakan
orang yang mengalami specific phobia disebabkan oleh kejadian trauma.
Contohnya jika kita digigit oleh anjing, maka kita akan menjadi phobia terhadap
anjing.
b. Information
transmition
Seseorang dapat mengalami specific phobia karena sering mengingat
sesuatu yang berbahaya. Misalnya seorang wanita mengalami fobia terhadap ular,
padahal wanita tersebut belum pernah bertemu dengan ular. Tetapi, ia sering
dibilang atau mendengar bahwa akan ada ular yang berbahaya di rumput yang tinggi.
Hal ini membuat wanita tersebut menggunakan sepatu boot untuk
menghindari bahaya, walaupun ia berjalan di jalan yang biasa.
c. Sosial dan Kultural
Faktor
ini sangat kuat dapat mempengaruhi seseorang mengalami specific phobia.
Dalam masyarakat tidak dapat diterima jika seorang laki-laki menunjukkan
ketakutan dan phobia. Mayoritas specific phobia terjadi pada perempuan.
6.
Cara menyembuhkan phobia
Terdapat
beberapa alternatif pilihan cara untuk membantu mengurangi atau menyembuhkan
phobia, di antaranya:
d. Hipnoterapi
yaitu proses oenyembuhan phobia dengan cara pemberian sugesti-sugesi dari
hipnoterapis kepada penderita untuk menghilangkan ketakutannya terhadap suatu
objek atau keadaan tertentu
e. Imagery
yaitu penyembuhan phobia dengan cara membuat penderita relaks sehingga
membayangkan suasana yang indah dan nyaman kemudian didatangkan sebuah objek
atau keadaan tertentu.
f. Abreaksi
yaitu penyembuhan phobia terhadap suatu objek melalui cara pendekatan mulai
dari foto atau gambar yang ditakutinya kemudian dilihatkan objek tersebut dari
kejauhan lalu didekatkan secara perlahan.
g. Flooding
yaitu penyembuhan phobia dengan cara menempatkan penderita dengan objek yang
ditakutinya sampai ia tidak merasakan ketakutan terhadap objek tersebut.
h. Reframing
yaitu proses penyembuhan phobia dengan cara membuat penderita membayangkan
kejadian masa lalu, awalnya dia mengalami phobia dilanjutkan menyuruh bercerita
pada yang mengobatinya.
i. Relaksasi
yaitu mengenalkan pada subjek kebiasaan promosi istirahat yang efektif untuk
mengurangi ketegangan. Relaksasi dibagi menjadi dua yaitu progression relaxation yaitu mengenali bagian tubuh yang tegang
kemudian merelekskan dan breathing training yaitu mengajarkan pernafasan
diafragma.
DAFTAR PUSTAKA
APA.
(2000). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (4th ed.
Text Revision). Washington, DC: American Psychiatric Association.
Corey,
Gerald. 2003. Teori dan
Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika.
Davison,
G.C & Neale J.M. (2006). Psikologi
Abnormal. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Durand
& Barlow. (2005). Abnormal Psychology.
Thomson Wadsworth. Learning Academic Resource Center.
Haugaard,
Jeffrey J. 2008. Child Psychopathology.
McGraw-Hill, New York.
Jones,
Richard Nelson. (2011). Teori dan Praktik Konseling dan Terapi. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta Miltenberger. R.G. (2004). Behavior Modification: Principles and Procedurs. Wadsworth/ Thomson
Learning. New York.
Nevid,
Jeffrey S, dkk. 2005. Psikologi Abnormal
Edisi Kelima Jilid 1. Erlangga: Jakarta
Soekadji,
S. (1983). Modifikasi perilaku : penerapan sehari-hari dan penerapan
profesional. Yogyakarta : Liberty
Taufik.
2002. Model-model Konseling. Padang: BK FIP UNP.
Comments
Post a Comment